Jumat, 05 Oktober 2012

Merekam Jejak 64 Tahun Penyair Dharmadi

 Oleh : Bambang Widiatmoko 

MENANDAI memasuki usianya yang ke 64 tahun, penyair Dharmadi mengumpulkan 64 sajaknya dan diterbitkan dengan judul Kalau Kau Rindu Aku (Kosa Kata Kita, Jakarta: 2012, 80 halaman). Dalam kumpulan puisi bersahaja dari penyair yang sejak tahun 2005 hijrah dari Purwokerto ke Jakarta, dan kini menjalani rutinitas bolak balik Jakarta – Purwokerto – Tegal ini, dilengkapi pula dengan pengantar atau nota pendek Medy Loekito dan Soesi Sastro. 

Menarik membaca sajak-sajak Dharmadi yang setia dan tak berhenti berkarya sampai memasuki usianya yang ke 64. Jarang ada penyair yang tetap setia berkarya sampai memasuki usia senja. //digelar dijajar lembar-lembar umur/dikaji riwayat jejak hidup/”adakah yang berarti bagi keturunan/bagi kehidupan, kelak saatnya semua/ditinggalkan?”/tinggal sisa berapa lembar lagi umurku, gusti.”//(di enampuluh empat tahun, hal. 78). 

Menghitung sisa umur tampaknya menjadi pilihan bijak bagi Dharmadi, untuk siap meninggalkan semuanya. Adakah yang pernah diraih selama ini berguna bagi keturunan dan bagi kehidupan? Tentu pertanyaan ini harus menjadi renungan bagi kita bersama, agar kita makin bijak menjalani laku kehidupan. Setelah itu kita serahkan batas usia sepenuhnya kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi, dan tetap memohon agar dikarunia umur panjang. 

 Dharmadi tampaknya senang menulis sajak-sajak pendek, meskipun sebenarnya tidak begitu mudah dibandingkan menulis sajak yang panjang. Ada persyaratan tertentu untuk menulis sajak pendek namun mampu menawarkan imaji yang panjang bagi penikmat sajak-sajaknya. Beberapa sajak pendeknya memenuhi persyaratan itu, seperti dalam sajak merapi-3://aku satu dari berbilang ciptaan/dalam takdir dalam kodrat/dalam kesemestaan//(hal. 18). Atau sajak merapi-7://jangan kau jadikan aku seteru/aku mesti membagi berkah gusti//(hal. 22). Bandingkan dengan sajak pendek Dharmadi yang belum memunculkan karakterisasi yang kuat dan terkesan transparan, seperti: //patah cinta/disulut api hati/membakar diri//(patah cinta, hal. 27). Atau://matahari,/senyum legit/gadis manis/bergigi gingsul/berlesung pipit//(pagi, hal. 33) 

Tampaknya Dharmadi jatuh hati melihat keunikan dan misteri yang tersimpan dalam sosok Gunung Merapi. Ada 7 (tujuh) puisi yang berjudul merapi dalam antologi ini. Gunung Merapi yang terkenal akan letusan dan muntahan lavanya, juga menyemburkan awan panas atau dikenal dengan nama Wedhus Gembel yang dapat menyapu segalanya. Namun sekaligus juga membawa berkah bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya dengan kesuburan tanah serta penambangan batu dan pasir. Dengan sigapnya Dharmadi menuliskan dalam sajaknya berjudul merapi-2://kukirim bencana/bersama berkah//(hal. 17). 

Tentang misteri Gunung Merapi itu sendiri, dapat dimunculkan dalam berbagai sajak. Saya merindukan Dharmadi menggarap budaya lokal yang ada di seputar Merapi dalam sajak-sajaknya. Misalnya menyangkut mitos dan disebarluaskan melalui cerita yang berkaitan erat dengan latar belakang tradisi lisan, tentang siapa sosok gaib mistis Kyai Sapu Jagad, Empu Rama, Empu Ramadi, Krincing Wesi, Branjang Kawat, Sapu Angin, Mbah Lembang Sari, Mbah Nyai Gadhung Wikarti, Nyai Gadhung Melati, dan Kyai Megantoro. 

Nama tersebut menjadi mitos dan diyakini sebagai penguasa Gunung Merapi. Sehubungan dengan mitos tersebut, Kraton Yogyakarta Hadiningrat setiap tahun menyelenggarkan upacara Labuhan Merapi yang sarat mengandung makna simbolis, religius, dan magis. Kata labuhan dapat diinterpretasikan dari kata ‘pelabuhan’ yang berhubungan dengan kosmologis Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan dapat diartikan dari kata ‘larung’ yang artinya melarung atau membuang sesuatu ke dalam air yaitu sungai atau laut. Sesuatu yang luar biasa jika Dharmadi dapat mewujudkannya dalam bentuk sajak, selain yang telah hadir dalam sajaknya berjudul merapi-4://aku hidup dihidupi/dialiri energi menghidupi bumi/dalam gerak harmoni//(hal. 19). 

Masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi berkedudukan sebagai makrokosmos (Jagat Ageng) dan Gunung Merapi sebagai lingkungan alam dan kehidupannya berkedudukan sebagai mikrokosmos (Jagat Alit). Hubungan timbal balik ini membuat masyarakat di lereng Gunung Merapi memiliki kearifan lokal dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan kepercayaan yang diyakininya. Kearifan lokal ini muncul dalam sajak Dharmadi berjudul merapi-1://diam dalam keteguhan/mengolah daya di titik inti/dalam diri/sejenak;/dialirkan energi/kekuatan sejati//(hal. 16). Sungguh luar biasa Dharmadi mengungkapkan semua ini dalam sajak-sajaknya tentang Merapi. 

Saya menangkap tema besar seputar perjalanan dalam antologi puisi kalau kau rindu aku ini. Seperti tampak dalam sajak berjudul di pantai-1, di pantai-2, di stasiun- l, di stasiun -2, di stasiun-3,di sebagian jalan tol, semakin muram saja, hari. Dan tampak nuansa dalam perjalanan itu yang membuat hati penyairnya muram, seperti dapat dilihat dalam kutipan sajaknya://ruang jiwa sesaat kosong,/serasa ada yang hilang//(hal. 46). 

Sajak-sajak Dharmadi memiliki karakteristik dan daya ungkap yang khas, dan ini yang menjadikan Dharmadi memiliki kelebihan dibanding penyair seangkatannya saat aktif sebagai penggerak kegiatan sastra di Purwokerto. Seperti dapat dibaca dalam sajaknya berjudul kau-jadikan tubuhku gunung, tanah kemarau, pengelana. Dan saya menemukan karya puncak Dharmadi dalam antologi ini melalui sajaknya berjudul sehabis persetubuhan://tak ada lagi dengus/tak ada lagi desah/tubuh basah/diraba kelaminnya;/”Engkaukah yang baru singgah?”//(hal. 37). 

Di balik kekuatan sajak di atas, saya menemukan sesuatu yang sedikit mengganggu pandangan saya dalam format buku ini, yakni identitas pemberi kata pengantar yang terlalu panjang dan diletakkan sebagai catatan kaki. Juga ada identitas buku yang salah penempatan dalam biodata tentang penyair. Buku kumpulan puisi Lirik-lirik Kemenangan adalah antologi puisi bersama hasil lomba penulisan puisi di Yogyakarta (yang jika tidak salah ingat, sajak saya juga termuat di dalamnya), jadi bukan buku kumpulan puisi tunggal. Tapi itu bisa dikesampingkan dan tenggelamlah bersama sukma penyair Dharmadi dalam menikmati rekam jejak menginjak enam puluh empat tahun bersajak dengan bijak. Selamat! 

(Bambang Widiatmoko, Penyair, dan Ketua KSI)

Tidak ada komentar: